www.sekilasnews.id – Ketentuan dalam proses seleksi calon ketua dan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) periode 2025–2030 menuai sorotan. Sejumlah pihak menilai aturan yang diterapkan panitia seleksi (pansel) tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.
Sorotan utama tertuju pada syarat administratif yang mengatur bahwa calon tidak boleh menjadi konsultan, pegawai, pengurus, dan/atau pemilik bank atau perusahaan asuransi “pada saat ditetapkan.” Kita perlu mempertanyakan kejelasan frasa ini serta pentingnya keselarasan dengan undang-undang yang berlaku.
“Ini bukan hanya soal perbedaan teknis, tapi pelanggaran norma undang-undang,” ujar pengamat hukum pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, dalam keterangan tertulis. Penekanan pada aturan yang sudah ada harus menjadi prioritas agar tidak terjadi kesalahan dalam proses seleksi.
Hardjuno menilai penyisipan frasa tersebut berpotensi membuka celah hukum yang dapat merusak integritas seleksi. Ia mengingatkan bahwa peraturan yang dibuat oleh pansel tidak boleh bertentangan dengan substansi dari peraturan undang-undang yang lebih tinggi.
Mengapa Syarat Seleksi Harus Konsisten dengan Undang-Undang?
Pentingnya konsistensi syarat seleksi dengan undang-undang bukan hanya sekedar formalitas, melainkan sebuah keharusan hukum. Ketentuan yang tidak konsisten dapat memicu sengketa hukum di kemudian hari.
Selain itu, syarat yang tidak jelas dapat menyebabkan ketidakpastian bagi calon yang ingin mendaftar. Dengan adanya ketidakjelasan, banyak individu yang terpaksa harus mempertanyakan kesiapan dan kelayakan mereka untuk berpartisipasi.
Hardjuno menegaskan bahwa jika ingin mengubah syarat seleksi, hal tersebut harus dilakukan melalui mekanisme legislasi di DPR, bukan sekedar pengumuman administratif. Proses ini akan memastikan bahwa syarat seleksi berlandaskan hukum yang kuat dan tidak dapat digoyahkan.
Dampak Potensial dari Ketidaksesuaian Syarat Seleksi
Syarat yang tidak sesuai dapat berimplikasi positif maupun negatif. Jika hasil seleksi tidak dapat diterima secara hukum, maka keputusan ini berpotensi merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat yang mengharapkan transparansi.
Dalam hal ini, integritas lembaga yang terlibat dalam seleksi akan dipertaruhkan. Pengawasan yang ketat terhadap setiap langkah proses seleksi menjadi krusial untuk menjaga kepercayaan publik.
Penyampaian informasi yang tepat kepada publik juga penting. Jika ada kesalahan dalam proses seleksi, akan sulit untuk meminta pertanggungjawaban tanpa adanya penjelasan yang transparan dari pihak berwenang.
Solusi untuk Meningkatkan Transisi dan Transparansi dalam Seleksi
Untuk menghindari masalah di masa depan, revisi mekanisme seleksi sangatlah diperlukan. Rencana strategis harus mencakup masukan dari berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan tidak adanya celah hukum yang bisa dimanfaatkan.
Transparansi dalam proses seleksi adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Penjelasan yang jelas mengenai proses dan syarat yang digunakan sangat diperlukan, agar masyarakat bisa memahami dan mengikuti perkembangan dengan baik.
Akhirnya, penegakan hukum yang ketat terhadap pelanggaran dalam proses seleksi harus menjadi prioritas. Ini akan memastikan bahwa semua pelanggaran dapat dihadapi dengan serius dan tidak ada yang diabaikan, demi kebaikan lembaga dan masyarakat.