www.sekilasnews.id – Stok yang menumpuk memaksa produsen untuk memangkas harga besar-besaran. Foto: Xpeng
SHANGHAI – Di balik gemerlap pameran mobil di Shanghai dan rekor penjualan yang memukau dunia, industri otomotif China punya masalahnya sendiri. Yakni, perang harga yang lahir dari “tsunami” mobil tak terjual: krisis overkapasitas yang kini mengancam kesehatan finansial para raksasanya sendiri dan mengguncang pasar global.
Pemerintah China mulai waspada. Mereka berjanji untuk turun tangan, sinyal bahwa “bom waktu” ini harus segera dijinakkan sebelum meledak.
Ini adalah kisah tentang bagaimana ambisi besar, subsidi masif, dan produksi yang tak terkendali menciptakan sebuah gelembung yang kini terancam pecah.
Fenomena Overproduksi Mobil di Pasar China
Pada 2024, produksi mobil di China mencapai rekor 31,4 juta unit. Namun, permintaan domestik tidak mampu menyerapnya, dengan angka penjualan masih 9,6% di bawah puncak tahun 2017.
Seiring bertambahnya jumlah produksi, semakin jelas bahwa stok mobil yang tidak terjual di tingkat pabrikan dan dealer membengkak. Ini menciptakan tekanan yang semakin besar pada industri otomotif yang sudah berjuang untuk mempertahankan profitabilitas.
Ketidakmampuan pasar untuk menyerap jumlah mobil yang diproduksi menciptakan atmosfer ketidakpastian. Beberapa produsen mulai melirik strategi baru, tetapi pergeseran ini tidak cukup untuk menghentikan krisis yang sedang berlangsung.
Beberapa produsen bereaksi dengan melakukan pemotongan harga yang agresif. Ini berujung pada perang harga yang hanya memperburuk situasi bagi semua pelaku pasar di industri otomotif.
Strategi “Ekspor Hantu” dan Dampaknya
Untuk mengatasi banjir ini, para produsen menggunakan trik “ekspor hantu” atau zero-mileage exports. Mereka mengirim mobil-mobil baru yang belum pernah menyentuh aspal China ke luar negeri hanya untuk membersihkan gudang.
Dari 5,86 juta mobil yang diekspor China pada 2024, lebih dari 78% adalah mobil bermesin bensin yang pasarnya di dalam negeri telah runtuh. Ini bukan cerminan permintaan yang sebenarnya, melainkan upaya putus asa untuk membuang kelebihan stok.
Metode ini mengungkapkan realitas pahit bahwa banyak mobil yang diekspor tidak memiliki pasar yang berkelanjutan di luar negeri. Hal ini berpotensi membuat citra merek dan keunggulan kompetitif mereka menjadi lebih rapuh di pasar global.
Dengan terus menerus mengekspor kendaraan tanpa menciptakan permintaan, produsen sebenarnya hanya mengalihkan masalah daripada menyelesaikannya. Ini memunculkan kekhawatiran bahwa praktik tersebut dapat memicu lebih banyak masalah di masa depan.
Pemerintah China Melangkah Masuk untuk Mencegah Krisis
Pemerintah China mulai menyadari risiko yang ditimbulkan oleh krisis ini dan berjanji untuk terlibat. Mereka mengeluarkan regulasi baru yang bertujuan untuk menyeimbangkan produksi dan permintaan.
Sebagian besar intervensi berfokus pada mengurangi kelebihan kapasitas produksi yang telah berlangsung terlalu lama. Tindakan ini diharapkan dapat memulihkan stabilitas pasar yang saat ini goyah akibat perang harga.
Strategi pemerintah juga mencakup insentif untuk inovasi dan pengembangan teknologi. Diharapkan dengan mendorong inovasi, produsen akan dapat menciptakan produk baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Namun, upaya pemerintah untuk mengatur industri otomotif tidaklah mudah. Birokrasi yang lambat dan resistensi dari para produsen menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi kebijakan ini.
Persepsi Publik dan Reaksi Konsumen di Tengah Krisis
Di tengah arus informasi yang beredar, konsumen mulai meragukan kualitas dan nilai dari banyak produk otomotif yang ditawarkan. Ini berdampak negatif terhadap brand yang sudah ada, membuat banyak konsumen mencari alternatif.
Sikap skeptis konsumen terhadap mobil-mobil baru yang dijual dengan harga diskon menciptakan tantangan baru bagi produsen. Kepercayaan adalah hal yang sulit dibangun dan mudah hancur dalam industri yang sangat kompetitif.
Pembeli sekarang lebih berhati-hati dalam memilih mobil, menganggap bahwa produk yang lebih murah mungkin tidak menawarkan kualitas yang sama. Ini bisa memperburuk kesulitan yang dialami oleh banyak produsen saat ini.
Selain itu, adanya spekulasi di pasar juga memberi dampak buruk yang menambah kompleksitas krisis. Ketika konsumen merasa tidak yakin, mereka cenderung menunda keputusan pembelian, yang semakin memperburuk kondisi pasar.