www.sekilasnews.id – Ahmed Al-Tayeb dijuluki media Israel sebagai kepala ular. Foto/X/@EgyptTodayMag
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Maariv menyebut Al-Azhar Mesir sebagai “kepala ular”, dan mendesak penghapusannya karena kritik keras lembaga tersebut terhadap kebijakan Israel.
Harian berbahasa Ibrani tersebut mewawancarai Eli Dekel, mantan perwira intelijen Israel dan spesialis urusan Mesir, yang juga menyerang Al-Azhar, mengklaim bahwa lembaga tersebut telah menjadi “corong permusuhan terhadap Israel dari dalam Mesir”.
Al-Azhar, yang dianggap sebagai salah satu lembaga paling berpengaruh di dunia Muslim Sunni, telah mengeluarkan pernyataan keras yang mengecam Israel atas tindakan genosida dan menegakkan kebijakan kelaparan di Jalur Gaza. Namun, pernyataan tersebut kemudian dihapus dari platform resminya.
Dalam wawancaranya dengan Maariv, Eli Dekel mengatakan: “Penting untuk diklarifikasi bahwa saya bukan pakar Islam — itu bukan bidang studi saya — tetapi saya akan membahas masalah ini berdasarkan pengalaman saya sendiri.”
Baca Juga: Trauma dengan Tragedi Fukushima, Jepang Minta 1,9 Juta Warga Dievakuasi, Ternyata Tsunaminya 1,3 Meter
Kritik yang dilontarkan oleh media Israel terhadap Al-Azhar dan sikap Imam Besarnya, Ahmed Al-Tayeb, mencerminkan ketegangan yang terjadi dalam hubungan antara dunia Muslim dan Israel. Berikut ini, kita akan membahas lebih dalam tentang konteks situasi ini, serta dampaknya terhadap hubungan internasional.
Ketegangan di wilayah Gaza sering kali menjadi pemicu bagi berbagai pihak untuk berkomentar, baik yang mendukung maupun yang menolak kebijakan Israel. Menurut laporan yang ada, sikap Al-Azhar yang keras dalam mengecam tindakan Israel dipandang sebagai ancaman oleh sebagian pihak, terutama dari Israel sendiri.
Kritik Terhadap Al-Azhar dan Dampaknya di Mediasi Konflik
Kritik yang dilontarkan oleh Eli Dekel dan media Israel lainnya harus dilihat dalam konteks lebih luas tentang bagaimana institusi keagamaan berfungsi dalam konflik. Al-Azhar tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai suara bagi banyak masyarakat Muslim Sunni di seluruh dunia.
Dalam banyak kasus, institusi seperti Al-Azhar menjadi tempat bagi aspirasi politik dan moral, yang sering kali bertentangan dengan kepentingan negara tertentu. Karenanya, tak jarang, serangan terhadap lembaga ini dilakukan dengan tujuan untuk meredam suara kritis yang bisa menggoyang posisi Palestina di mata dunia.
Reaksi keras dari berbagai pemimpin di dunia Islam terhadap kritik Israel menunjukkan bahwa Al-Azhar tidak berdiri sendiri dalam perjuangannya. Dukungan dari negara-negara Muslim lainnya memperkuat posisi lembaga tersebut, sekaligus menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan Palestina.
Reaksi Internasional Terhadap Penanganan Konflik Gaza
Pandangan internasional terhadap penanganan konflik Gaza sangat beragam. Ada yang menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah pertahanan. Sikap Al-Azhar yang kritis terhadap Israel menjadi bagian dari diskusi ini, menambah kompleksitas dalam mediasi konflik.
Sejumlah negara telah menyerukan penghentian kekerasan dan perlunya dialog. Di sisi lain, Israel menyatakan bahwa tindakan mereka adalah untuk melindungi diri dari ancaman teror. Ketegangan inilah yang memperumit pendekatan diplomatik di kawasan tersebut.
Media massa berperan penting dalam membentuk opini publik mengenai masalah ini. Dengan mengangkat suara Al-Azhar dan kritik-kritik yang ada, media ikut memperbesar narasi yang berfokus pada hak-hak Palestina.
Strategi Diplomasi dan Masa Depan Al-Azhar dalam Konteks Internasional
Keberadaan Al-Azhar dalam skena internasional menunjukkan pentingnya lembaga keagamaan dalam diplomasi. Melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan, Al-Azhar berusaha untuk menyampaikan pesan damai dan keadilan, yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam banyak hal, lembaga ini menjembatani antara agama dan politik.
Namun, tantangan tidak pernah hilang. Al-Azhar harus berhadapan dengan kritik yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam masyarakat Muslim itu sendiri. Oleh karena itu, strategi komunikasi yang bijaksana menjadi sangat penting bagi kelangsungan lembaga ini.
Masa depan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk merespons isu-isu yang berkembang, terutama di kawasan Timur Tengah yang selalu berubah dinamis. Kemampuan tersebut mencakup diplomasi, advokasi, serta khotbah-khotbah yang relevan dengan konteks sosial politik saat ini.