www.sekilasnews.id – Iron dome gunakan logika diskriminatif. Foto/X/@War_Doctrine
TEL AVIV – Pada tanggal 15 Juni, sebuah rudal Iran menghantam kota Palestina Tamra di dalam Israel, menewaskan beberapa warga sipil. Dalam beberapa jam, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berkomentar: “Rudal tidak membedakan antara orang Yahudi dan orang Arab”. Pernyataannya memicu kemarahan di antara warga Palestina di Israel, yang menunjukkan kemunafikan mengerikan dari pemerintah yang secara sistematis mengecualikan komunitas Palestina dari infrastruktur perlindungan dasar, sementara menginvestasikan miliaran dolar untuk melindungi warga Yahudi.
Sikap diskriminatif ini tidak hanya mencerminkan kebijakan pemerintah, tetapi juga mengungkapkan ketidakadilan sosial yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Iron Dome, sistem pertahanan yang dibanggakan, ternyata beroperasi dengan logika yang memisahkan antara kehidupan satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Polemik ini mengundang rasa prihatin mendalam di kalangan masyarakat internasional. Mengapa negara yang mengklaim demokratisasi memilih untuk mengabaikan hak-hak dasar warga Palestina? Ini adalah pertanyaan yang tak kunjung terjawab dan sering kali terlupa di tengah konflik berkepanjangan.
Iron Dome dan Logika Diskriminatif dalam Perlindungan
Iron Dome berfungsi sebagai simbol antisipasi terhadap serangan. Namun, ketidakadilan yang dikandungnya melampaui fungsi defensif semata. Sistem ini didirikan dengan asusmsi bahwa kehidupan orang Yahudi lebih berharga dibandingkan dengan hidupnya warga Palestina.
Menurut analisis yang dilakukan, seluruh struktur pertahanan Israel, dari tempat perlindungan hingga sistem pencegahan serangan, beroperasi dengan cara yang sangat diskriminatif. Di banyak daerah Arab, Iron Dome bahkan dirancang untuk membiarkan rudal jatuh tanpa intervensi.
Di Naqab, misalnya, kota-kota Arab yang secara rutin diklasifikasikan sebagai “daerah terbuka” tidak mendapatkan perlindungan yang sama. Ini menciptakan kesan bahwa nyawa warga Palestina adalah masalah yang dapat diabaikan, memperdalam rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh komunitas tersebut.
Pengabaian Infrastruktur di Kota-Kota Arab
Serangan roket oleh Hizbullah pada Oktober 2024 di kota Majd al-Krum menunjukkan seriusnya pengabaian dari pemerintah. Akibat serangan tersebut, satu nyawa hilang dan puluhan lainnya terluka. Parahnya, kota ini tidak memiliki tempat perlindungan yang memadai.
Komentar dari Komite Darurat Arab menyoroti dampak besar dari marginalisasi kota-kota Arab yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kurangnya infrastruktur pelindung sangat mencolok dan mencerminkan kebijakan pemerintah yang disengaja untuk mengabaikan kebutuhan dasar warga Arab.
Sebuah survei juga menunjukkan fakta mencengangkan: 87 persen tempat perlindungan di kota Palestina terletak di sekolah, yang tidak hanya menyempitkan akses, tetapi juga berisiko tinggi saat situasi darurat terjadi. Sementara itu, tempat perlindungan di kawasan Yahudi lebih mudah diakses dan lebih efektif.
Dampak Pengabaian Terhadap Komunitas Palestina
Akibat pengabaian infrastruktur ini, kepercayaan warga Palestina terhadap pemerintah semakin menipis. Mereka merasa tidak diperhitungkan dalam kebijakan publik dan kehilangan harapan untuk mendapatkan perlindungan yang layak. Dalam pandangan banyak orang, diskriminasi ini adalah cerminan dari ketidakadilan struktural yang lebih luas.
Masalah ini juga berakibat pada kesehatan mental dan sosial masyarakat Arab. Ketakutan akan serangan, ditambah lagi dengan ketidakpastian mengenai perlindungan, menciptakan kondisi yang tidak manusiawi bagi banyak keluarga. Di banyak daerah, anak-anak tumbuh tanpa rasa aman.
Kondisi ini mendorong warga Palestina untuk berjuang demi hak-hak mereka. Penolakan terhadap kebijakan diskriminatif terus meningkat, dan suara-suara protes muncul dari komunitas yang sebelumnya pasif. Ini menunjukkan bahwa meskipun dihadapkan pada tantangan besar, solidaritas tetap ada di antara warga Palestina.