www.sekilasnews.id – Pada Rabu, 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati, Jawa Tengah, berkumpul di jalanan untuk menggugat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai 250 persen. Lonjakan ini sangat mencolok, mengingat bahwa pendapatan rata-rata warga desa tidak lebih dari Rp3 juta per bulan, angka yang jelas tidak sebanding dengan beban yang ditanggung.
Pemerintah daerah menjelaskan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh pendapatan asli daerah yang stagnan dan pengurangan dana transfer dari pusat. Dalam keadaan seperti ini, PBB dianggap sebagai solusi cepat untuk menutup defisit anggaran, namun rakyat terpaksa menanggung akibatnya.
Situasi serupa juga terjadi di Jombang, di mana beberapa daerah mencatatkan kenaikan pajak hingga 1.000 persen. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pajak ini dikelola semestinya, atau hanya merupakan warisan dari sistem kolonial yang membebani masyarakat?
Teori pajak modern menyebutkan bahwa pajak harus dibayar sebanding dengan manfaat yang diterima. Dalam konteks ini, pajak dianggap sebagai bagian dari kontrak sosial: jika masyarakat membayar pajak, maka mereka seharusnya menerima layanan publik yang memadai. Namun, kenyataannya, banyak daerah yang menunjukkan sebaliknya.
PBB sering kali naik bersamaan dengan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tetapi kualitas layanan publik tidak kunjung membaik. Jalan-jalan desa yang rusak, irigasi yang tidak terawat, dan sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas menjadi kenyataan yang mengganggu kehidupan masyarakat.
Salah satu masalah yang mencolok adalah bahwa kenaikan NJOP sering kali tidak didasarkan pada standar yang jelas. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak dapat memahami atau menerima logika di balik kenaikan pajak, apalagi jika mereka tidak merasakan perubahan positif dalam layanan publik.
Pertumbuhan dan Masalah Pajak yang Terus Menerus Menghantui
Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak selalu diiringi dengan manajemen pajak yang baik. Dalam banyak kasus, peningkatan pajak hanya menambah beban bagi masyarakat yang sudah sulit. Ketidaksesuaian ini sering menimbulkan ketidakpuasan dan protes dari masyarakat.
Di Pati, suara protes bukan hanya sekadar reaksi spontan, melainkan merupakan cerminan dari rasa frustrasi masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Kenaikan pajak ini menambah beban ekonomi di tengah upaya pemulihan pasca-pandemi.
Lebih jauh lagi, masyarakat semakin kritis terhadap penggunaan dana publik. Dengan kondisi layanan publik yang tidak memadai, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun. Banyak orang bertanya-tanya ke mana sebenarnya uang pajak mereka digunakan.
Pemerintah daerah berusaha menjelaskan bahwa pajak yang collected digunakan untuk pengembangan infrastruktur. Namun, ketika proyek-proyek infrastruktur tidak terlihat secara langsung oleh masyarakat, rasa skeptis akan semakin menguat.
Ketidakpuasan ini juga mencerminkan kurangnya komunikasi dan transparansi dari pihak pemerintah. Jika masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, protes adalah salah satu cara mereka mengekspresikan ketidakpuasan.
Comparative Analysis dengan Sistem Pajak Lain di Dunia
Dari perspektif global, sistem pajak yang berbasis pada manfaat seharusnya menjadi acuan yang dipakai oleh negara-negara, termasuk Indonesia. Di banyak negara, pajak yang dibayar warga sebanding dengan tingkat layanan yang mereka terima. Hal ini mendorong masyarakat untuk membayar pajak dengan lebih ikhlas.
Namun, ketika melihat praktik PBB di Indonesia, sering kali terlihat sebaliknya. Masyarakat merasa seperti mereka hanya menjadi sumber pendapatan tanpa mendapat imbalan yang layak. Misalnya, di negara-negara yang memiliki sistem pajak yang lebih transparan, ketidakpuasan publik terhadap pajak jauh lebih rendah.
Keberhasilan sistem perpajakan di negara lain sering kali didorong oleh keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya, Jepang dikenal dengan keterlibatan warganya dalam pemerintahan lokal, dan hal ini berkontribusi pada kepercayaan publik yang tinggi.
Saatnya bagi pemerintah untuk belajar dari pengalaman negara lain dan menerapkan prinsip-prinsip yang lebih adil dan transparan. Transparansi penggunaan pajak dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program-program pemerintah.
Menariknya, kebijakan pajak yang baik tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Ketika masyarakat merasa bahwa mereka mendapatkan kembali manfaat dari pajak yang dibayar, maka kepatuhan pajak pun akan meningkat.
Membangun Sistem Pajak yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Agar sistem pajak di Indonesia lebih adil dan berkelanjutan, beberapa langkah harus diambil. Pertama, perlu adanya dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi mereka. Hal ini dapat membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpuasan di kalangan warga.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam penggunaan anggaran. Dengan memberikan penjelasan yang akurat mengenai alokasi dana, masyarakat akan lebih memahami dan, pada gilirannya, lebih mau membayar pajak.
Ketiga, pengembangan sistem informasi yang memadai dapat membantu masyarakat mengakses informasi terkait pajak dan layanan publik. Dengan begitu, mereka dapat melihat secara langsung hasil dari pajak yang mereka bayar.
Keempat, revisi terhadap kebijakan dan mekanisme penghitungan pajak juga sangat penting. Penerapan standar yang jelas dan konsisten dalam menentukan NJOP sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman di antara masyarakat.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem pajak di Indonesia mampu memberikan manfaat yang sepadan dengan beban yang ditanggung masyarakat, sekaligus membangun kepercayaan dan partisipasi dalam pembangunan daerah.