www.sekilasnews.id – Donald Trump meluncurkan 529 serangan udara selama 6 bulan berkuasa. Foto/X
WASHINGTON – Dalam sorotan untuk menghadapi pemilihan presiden 2024, Presiden Donald Trump mengklaim dirinya sebagai pembawa perubahan dalam kebijakan luar negeri. Namun, tindakan nyata yang diambilnya dalam enam bulan terakhir menunjukkan sebaliknya; janji-janji untuk mengakhiri keterlibatan AS dalam konflik yang berkepanjangan tampaknya tidak terealisasi.
Trump telah berkomitmen untuk mengurangi konflik global namun meluncurkan ratusan serangan udara ke sejumlah negara. Kampanye yang secara kongkrit melawan “perang abadi” ini justru menghadapi kenyataan yang bertolak belakang, di mana kekuatan militer AS beroperasi dengan intensitas yang tinggi.
Sebuah laporan dari lembaga non-profit ACLED menunjukkan bahwa Trump telah melancarkan serangan udara nyaris sama banyaknya dengan pendahulunya, Joe Biden, dalam waktu yang jauh lebih singkat. Data yang dipaparkan mencakup dampak di lima negara yang mengalami serangan tanpa henti, membuktikan bahwa komitmen untuk berperang terus berlanjut di bawah kepemimpinannya.
Dalam periode tersebut, Iran, Irak, Suriah, Somalia, dan Yaman menjadi negara-negara yang terimbas oleh serangan udara AS. Pentagon mengakui beberapa serangan, tetapi pengakuan ini terbatas dan sering kali tidak mencakup keseluruhan data yang ada.
Presiden ACLED, Clionadh Raleigh, menyatakan bahwa jumlah serangan udara yang dikelola Trump hanya dalam lima bulan hampir sama dengan total serangan yang tercatat selama empat tahun masa jabatan Biden. Hal ini menunjukkan bahwa meski klaim mengusung perdamaian, tindakan di lapangan menggambarkan situasi yang berbeda.
Tindakan Militer yang Konsisten di Berbagai Negara
Data menunjukkan bahwa militernya bertindak dengan lebih cepat dan lebih intens dalam menyerang. Ini bukan hanya masalah wilayah, tetapi juga frekuensi serangan yang meningkat di beberapa negara, termasuk mereka yang telah menghadapi konflik berkepanjangan. Serangan-serangan ini memberi dampak signifikan, tidak hanya terhadap infrastruktur, tetapi juga pada kehidupan sipil.
Militer AS menunjukkan pola serangan yang terus berulang dalam beberapa area, di mana wilayah-wilayah seperti Suriah dan Irak sudah menjadi medan militer yang dikenal. Namun, penanganan masalah ini tidak lantas mengurangi kompleksitas atau dampak dari serangan yang diluncurkan.
Keberadaan angkatan bersenjata di lapangan bukan hanya sekadar untuk menjaga ketertiban, tetapi lebih kepada strategi yang lebih besar. Dengan langkah ini, Trump berusaha menegaskan posisi Amerika Serikat di kancah internasional melalui kekuatan, meskipun dengan biaya yang tinggi dan efek yang merugikan bagi banyak orang.
Kebijakan yang diusung Trump tampaknya kembali ke pendekatan yang lebih agresif, mencerminkan ketidakpastian dalam perubahan yang dijanjikan. Jadi, ketika ia menyebut “perdamaian melalui kekuatan,” banyak yang mempertanyakan apakah ini benar-benar bisa dicapai dengan strategi yang ada.
Berbagai organisasi internasional dan pengamat sering kali mengindikasikan bahwa pendekatan semacam ini hanya akan menambah penderitaan rakyat di negara yang sudah tertekan oleh konflik bersenjata bertahun-tahun. Oleh karena itu, kritik terhadap strategi dan efek dari tindakan militer ini pun semakin meningkat.
Kritik Terhadap Kebijakan Luar Negeri yang Berkelanjutan
Kritikus kebijakan luar negeri Trump menunjukkan bahwa ia tampaknya tidak berbeda jauh dari pendahulunya dalam hal tindakan militer. Walaupun ia menjanjikan penyelesaian konflik, serangan malah semakin intensif dan kompleks. Rasionalisasi terhadap tindakan ini terlihat lemah, terutama apabila melihat dampaknya terhadap kehidupan masyarakat lokal.
Secara klandestin, penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan diplomasi menjadi perdebatan yang sangan sengit. Beberapa pihak meyakini bahwa pendekatan yang lebih diplomatik seharusnya menjadi alternatif untuk menghindari kerusuhan yang lebih besar. Namun, kebijakan saat ini tampaknya lebih bersifat reaktif dan didasarkan pada pilihan militer yang mendominasi.
Padahal, keuntungan politik dalam jangka pendek dari kebijakan ini sering kali menghampiri egoisme nasional. Di sisi lain, dampak jangka panjang dari serangan terhadap masyarakat sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan stabilitas regional tampak terabaikan. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai arah kebijakan luar negeri AS di era Trump.
Mempertahankan pendekatan militer juga menunjukkan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan dinamika baru dalam hubungan internasional. Terlebih, ia menghadapi tantangan yang lebih besar dari pemimpin dunia saat ini yang lebih memilih dialog dibandingkonflik. Jika Trump terus memenangkan dukungan populis dengan membangun citra kekuatan, ia mungkin akan kehilangan kredibilitas di hadapan orang-orang yang mendambakan perdamaian nyata.
Kesimpulan dan Harapan untuk Masa Depan
Akhirnya, kami melihat bahwa komitmen untuk mencapai kedamaian sejati melalui tindakan militer berisiko akan mengarah pada lebih banyak masalah. Ketika Trump menggembar-gemborkan kekuatan militernya, ia juga harus mempertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap rakyat dan stabilitas global.
Perpaduan antara kebijakan luar negeri yang berkelanjutan dan pendekatan humanis akan menjadi kunci untuk menciptakan solusi yang lebih tahan lama. Cita-cita untuk mengakhiri konflik harus diimbangi dengan langkah-langkah konkret yang memastikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat sipil di negara yang terkena dampak.
Kesadaran akan pentingnya kompromi dan dialog harus menjadi bagian dari strategi yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan global. Dengan demikian, harapan untuk masa depan yang lebih damai akan tetap ada, meskipun tantangan di depan mungkin sangat berat.